Kekuatan dan Keterbatasan dari '6 Prinsip Dasar' Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam Menyelesaikan Konflik Air
Berikut adalah terjemahan dari paper saya Strengths and Limitations of The Indonesian Constitutional Court’s “6 Basic Principles” in Resolving Water Conflicts
tags: #water #constitution #allocation #conflict #indonesia
Untuk versi audio, silahkan dengarkan disini:
![[prj_3128647_50a8c5f1048adbcca4147a9496c7c056_1685535960.mp3]]
Untuk video presentasi silahkan klik link ini.
Konflik air telah menjadi isu yang sering muncul di berbagai media Di Sumatera Selatan, penggunaan air untuk perikanan darat di daerah hulu menyebabkan kekurangan air di daerah hilir yang memicu konflik di antara petani. Di Sulawesi Tenggara, pengembangan pembangkit listrik tenaga air menyebabkan lahan sawah tenggelam yang memicu protes dari petani yang terkena dampak. Di Sumatera Utara, pengembangan pembangkit listrik tenaga air menyebabkan lahan pertanian tenggelam dan mengganggu mata pencaharian petani kecil. Di Sidoarjo, konflik antara petani muncul ketika satu desa menutup saluran drainase, yang menyebabkan sawah di desa lain tenggelam.
Konflik air ini kemungkinan akan semakin intensif karena semakin menipisnya ketersediaan air. Semua pulau di Indonesia menderita polusi air permukaan yang berat. DAS di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi sudah mengalami stres air. Pulau Jawa, yang merupakan rumah bagi 57% (143 juta) populasi Indonesia, mengalami stres air sedang hingga tinggi. Diperkirakan pada tahun 2045, hampir semua DAS di Jawa, Bali, dan pulau Nusa Tenggara akan mengalami stres air yang parah.
Pada tahun 2015, menanggapi petisi untuk membatasi kontrol sektor swasta atas sumber daya air, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU Air Nomor 7 Tahun 2004 dan memperkenalkan 6 prinsip dasar, yang telah digunakan sebagai pedoman normatif untuk mengimplementasikan regulasi tentang sumber daya air dan untuk menyelesaikan konflik air di masa depan.
Namun, prinsip-prinsip ini memiliki banyak ambiguitas. Makalah ini akan mengkaji secara kritis prinsip-prinsip tersebut dan kemudian menguraikan kesulitan dalam implementasinya.
Berikut ini adalah beberapa kritik atas 6 prinsip dasar Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan konflik air:
-
Pertama, 6 prinsip dasar tampaknya lebih berfokus pada komersialisasi air daripada tata kelola air secara keseluruhan. Ini menimbulkan pertanyaan apakah prinsip-prinsip ini dimaksudkan untuk mengatur penggunaan air secara keseluruhan atau hanya untuk memberikan batasan komersialisasi sumber daya air. Jika prinsip-prinsip ini dimaksudkan untuk mengatur tata kelola air secara keseluruhan, maka penggunaan air non-komersial harus juga termasuk di dalamnya. Namun, jika prinsip-prinsip ini hanya dimaksudkan untuk membatasi komersialisasi, maka aktivitas tersebut tidak akan tercakup di dalamnya.
-
Kedua, prinsip-prinsip ini tampaknya tidak relevan dalam mengatur pelayanan air minum dan sanitasi. Meski prinsip-prinsip ini memiliki kekuatan dalam memberikan panduan untuk alokasi air, namun dalam kasus pelayanan air, ketika air telah dianggap dialokasikan di antara penggunaan lain (selain dari air minum), masalah tersebut dianggap telah diselesaikan pada tingkat sumber daya (wilayah sungai), dan bukan dalam tingkat pelayanan air (antar konsumen air yang satu dengan lainnya seperti industri vs perumahan).
-
Ketiga, prinsip-prinsip ini tampaknya tidak berlaku untuk beberapa kategori konflik. Misalnya, konflik antara petani kecil atau antara dua perusahaan milik negara. Prinsip-prinsip ini tampaknya kurang relevan dalam menyelesaikan konflik dalam kategori penggunaan (uses) dan pengguna (user) yang sama.
-
Keempat, prinsip-prinsip ini tampaknya tidak berlaku untuk konflik yang timbul karena penggunaan lahan, pengembangan, atau pencemaran air karena aktivitas seperti pertambangan. Prinsip-prinsip ini lebih berfokus pada komersialisasi dan bukan tata kelola secara keseluruhan.
-
Kelima, prinsip-prinsip ini tampaknya tidak berlaku untuk konflik yang timbul karena kualitas air. Prinsip-prinsip ini tampaknya lebih fokus pada ketersediaan air, yang merupakan masalah kuantitas. Namun, jika ketersediaan air dapat ditafsirkan secara luas sehingga mencakup ketersediaan air dengan kualitas yang diinginkan, maka prinsip-prinsip ini akan lebih berlaku.
-
Terakhir, prinsip-prinsip ini tampaknya mengabaikan produktivitas ekonomi sebagai nilai yang diakui dalam tata kelola air. Ini memiliki dua implikasi: pertama, tapak air (water footprint) diabaikan, yaitu air akan didistribusikan ke petani kecil atau perusahaan milik negara/daerah/desa meskipun pendistribusian itu mungkin kurang efisien; dan kedua, prinsip ini melarang realokasi air dari penggunaan air yang kurang produktif ke penggunaan air yang lebih produktif.
Dalam menghadapi keterbatasan ini, makalah ini merekomendasikan agar Mahkamah Konstitusi menggunakan pendekatan teleologis dan berdasarkan pendekatan tersebut, merevisi 6 prinsip dasar dalam kasus-kasus mendatang sehingga dapat menangani semua jenis konflik air. Implementasi 6 prinsip dasar melalui regulasi dan penyelesaian konflik oleh pengadilan atau badan lainnya juga harus menggunakan pendekatan teleologis.
Related:
Water Conflict in Indonesia