Balapan AI -- Masa Depan Datang Terlalu Cepat
Mohamad Mova Al'Afghani, PhD
Keterangan:
Artikel ini adalah terjemahan dari artikel saya "AI race -- the future is coming too fast" yang diterbitkan oleh the Jakarta Post beberapa waktu lalu. Teks dibawah ini diterjemahkan dari Bahasa Inggris kedalam Bahasa Indonesia oleh GPT-4 dengan editing dari penulis.
Permanent URL:
https://mova.alafghani.info/docs/balapan-ai-masa-depan-datang-terlalu-cepat/
====
Telah banyak perdebatan dan kritik mengenai ChatGPT yang baru-baru ini menjadi viral. Selain mereka yang terkesan dengan kemampuannya, beberapa orang menyebut ChatGPT kadang-kadang "berhalusinasi" dengan outputnya. Hal ini benar dan saya sendiri mengalaminya ketika menggunakan ChatGPT untuk membantu penelitian saya tentang tata kelola air atau regulasi lingkungan, yang merupakan bidang keahlian saya. Namun, orang sering salah mengartikan ChatGPT dengan GPT (Generative Pre-trained Transformer) atau "model bahasa" AI pada umumnya. Saya bukan ahli AI, tetapi saya telah menggunakan alat AI ini untuk membantu penelitian saya.
Pertama, ChatGPT hanyalah versi "fine-tuned" dari GPT milik OpenAI (perusahaan yang menciptakannya). Pemahaman yang lebih baik tentang apa yang bisa dilakukan GPT dapat dicapai dengan menggunakan playground OpenAI, di mana kita dapat memilih banyak versi model GPT. Kedua, model GPT, termasuk ChatGPT, dapat memberikan hasil yang lebih baik jika pengguna memanipulasi prompt mereka dengan lebih baik, sesuatu yang dikenal sebagai "rekayasa prompt". Ketiga, model GPT dapat menghasilkan keluaran yang lebih baik jika mereka "fine-tuned" (dilatih lebih lanjut dengan konteks spesifik) atau diberi dokumen kontekstual (proses yang disebut "embedding"). GPT-4, versi terbaru yang dirilis pada 14 Maret, diklaim oleh OpenAI memiliki kinerja yang lebih baik dalam berbagai tolok ukur akademik dan mampu menerima input gambar dan teks. Itu baru OpenAI. Perlombaan dalam Large Language Models (LLM) baru saja dimulai. Facebook, Google, Microsoft, Baidu, serta berbagai institut penelitian dan universitas telah menginjak pedal gas mereka dalam perlombaan AI.
Lalu, apa dampak sosial ekonomi dari balapan AI ini? Pertama, AI akan menggantikan pekerjaan kerah-putih. Posisi ahli senior akan aman untuk sementara waktu; namun, pekerjaan kerah-putih tingkat pemula berisiko. Karena AI membuat pekerjaan lebih efisien, maka akan ada kebutuhan yang lebih sedikit untuk banyak orang melakukan pekerjaan tingkat pemula. Jadi, orang akan relatif aman dari AI jika mereka ahli; tetapi pada saat yang sama, akan lebih sulit bagi generasi muda untuk menjadi ahli, karena akan ada lebih sedikit pekerjaan tingkat pemula. Selain itu, Eloundou et.al (2023, belum peer review) menunjukkan bahwa banyak jenis pekerjaan yang berhubungan dengan teks atau angka, termasuk matematikawan, penulis, akuntan, dan pemrogram sangat rentan terhadap ancaman oleh AI. Sebaliknya, pekerjaan yang mengandalkan pemikiran kritis dan sains memiliki korelasi negatif dengan paparan AI. AI juga akan menggantikan pekerjaan kerah-biru. Namun, menurut saya, tingkat penggantian untuk pekerjaan kerah-biru akan lebih lambat dibandingkan dengan pekerjaan kerah-putih karena memerlukan investasi dalam infrastruktur. Di sisi lain, menggantikan knowledge worker hanya memerlukan laptop dan akses ke server cloud jarak jauh.
Kedua, periode antara disrupsi menjadi terlalu cepat. Pada masapra-ChatGPT, ketika teknologi baru menggantikan yang lama, biasanya ada cukup waktu bagi investor baru untuk mengambil keuntungan dengan mengoperasikan teknologi baru hingga teknologi itu digantikan lagi. Dengan AI, banyak startup yang dibangun di atas GPT-3 akan menjadi usang saat Microsoft Copilot (yang terintegrasi dengan ekosistem Microsoft seperti Word dan PowerPoint) diluncurkan untuk umum. Contohnya, salah satu model bisnis saat ini adalah "Document Querying". Jadi, pada dasarnya, pengguna dapat mengunggah sejumlah dokumen dan kemudian mereka dapat menanyakan AI mengenai isi dokumen tersebut. Segera setelah Onedrive dan Google Drive terintegrasi dengan sistem AI, bisnis ini mungkin akan bangkrut. LLM saat ini dapat menulis kontrak, kode komputer, kode genetik, mengkonversi teks ke gambar, teks ke video, teks ke musik, teks ke situs web, dan sebaliknya. Dalam beberapa bulan, setiap penciptaan informasi, mulai dari menulis email, merangkum email, menulis naskah iklan, hingga menyusun presentasi akan dihasilkan dengan bantuan AI. Sebaliknya, setiap konsumsi informasi, seperti membaca email atau berita, juga akan dilakukan oleh AI. AI akan segera menjadi perantara informasi.
Pertanyaan ketiga adalah: Bagaimana sistem pendidikan kita harus menghadapinya? Mengetahui bahwa Microsoft dan Google akan segera meluncurkan sistem AI untuk umum, perlawanan terhadap AI sia-sia (resistance is futile, kalo kata Borg). Jadi, saya mengatakan kepada mahasiswa saya untuk menggunakan ChatGPT dan alat AI apa pun yang tersedia. Saya hanya perlu membuat pertanyaan ujian yang lebih baik untuk saat ini. "Detektor teks AI" yang ada saat ini juga tidak berguna; mereka telah salah mengidentifikasi teks asli yang ditulis manusia dengan AI.
Bagaimana kita akan mengajar anak-anak kita? Banyak profesi baru yang dibuat saat ini seperti "manajer media sosial" mungkin tidak akan ada lagi di masa depan. Bahkan selebgram juga berisiko digantikan oleh avatar AI yang tampan dan cantik. Alat sintesis suara sudah menggantikan narator. Untuk saat ini, prompt engineering (rekayasa prompt) masih akan menjadi keterampilan penting. Dengan kata lain, mengetahui cara "menggunakan" AI untuk memberikan keluaran yang diinginkan akan membuat seseorang lebih unggul daripada mereka yang tidak tahu cara memerintahkan AI. Ini karena AI akan menjadi jin yang bisa menciptakan informasi atau pengetahuan berdasarkan keinginan tuannya. Mereka dengan imajinasi terbatas dan pikiran tertutup tidak akan dapat bersaing.
Keempat, informasi palsu akan semakin sulit untuk dideteksi. Gambar palsu WhatsApp sudah cukup buruk, tetapi kegilaan akibat AI ini akan lebih buruk lagi. Jika gaya bicara dan gaya tulisan bisa dikloning serta wajah manusia bisa dihasilkan secara buatan, akan lebih sulit untuk membedakan yang palsu dari kenyataan.
Terakhir, jika AI berhasil menggantikan knowledge worker tingkat entry-level dan posisi menengah, dampak politik dan ekonomi akan sangat besar. Knowledge worker entry-level dan menengah termasuk dalam kelas menengah yang saat ini menggerakkan ekonomi. Kelas menengah yang kuat juga diperlukan untuk mempertahankan demokrasi, yang saat ini sedang terancam di mana-mana. Siapa pun yang bersaing dalam pemilihan presiden mendatang perlu membahas masalah ini. Kita memerlukan jaring pengaman dan Universal Basic Income jika AI berhasil menggantikan knowledge worker tingkat entry-level. Sementara beberapa anak kita masih menyeberangi sungai untuk bersekolah, sistem pendidikan kita perlu menghadapi perlombaan AI ini. Perubahan yang dibawa oleh AI akan eksponensial. Masa depan datang terlalu cepat. Apakah institusi kita akan mampu menghadapinya?